Lima Pendekatan Mutakhir dalam
Pengajaran Bahasa: Kelebihan dan Kekurangan
oleh Melody Violine
Dalam tulisannya yang berjudul “Lima Pendekatan Mutakhir
dalam Pengajaran Bahasa”, Dardjowidjojo memaparkan sejarah pertumbuhan,
prinsip-prinsip dasar, tahap-tahap penguasaan, teknik pelaksanaan pengajaran,
dan hasil yang dicapai oleh Community Language Learning (CLL), Total
Physical Response (TPR), Natural Approach (NA), Silent Way (SW),
dan Suggestopedy (SP). Dardjowidjojo juga tidak lupa membeberkan
garis besar kelemahan kelima pendekatan tersebut.
Meskipun bagian pemaparan dalam tulisan ini cukup membosankan,
bagian pengantar dan penutupnya cukup menarik karena Dardjowidjojo
mengungkapkan pikirannya dengan luwes. Secara umum tulisan ini sangat berguna
untuk memahami apa saja kelebihan dan kekurangan kelima pendekatan tersebut.
CLL dirintis oleh Charles A. Curran dalam eksperimennya pada
tahun 1957 yang menerapkan konsep psikoterapi dalam bentuk konseling pada para
mahasiswanya. Pelajar disebut klien sementara guru disebut konselor. Konselor
harus menghilangkan perasaan negatif para kliennya dengan bersikap fasilitatif.
CLL mempunyai enam konsep, yaitu Security (memberikan
rasa aman), Attention-Aggression (membina perhatian dan mendorong klien
untuk aktif), Retention-Reflection (introspeksi dan perenungan), dan
Discrimination (membedakan elemen-elemen bahasa dengan teliti). Tahap-tahap
penguasaan bahasa baru dalam CLL dibagi menjadi lima, yaitu Embryonic,
Self-assertion, Separate-existence, Reversal, dan Independent.
Hal yang paling mencolok dari CLL adalah setiap kelas
terdiri dari enam sampai dua belas klien yang masing-masing didampingi oleh
seorang konselor, baik secara langsung maupun media elektronik. CLL tidak
memakai teks apa pun, tetapi mempunyai alat peraga khusus bernama Chromacord
Teaching System.
Dikatakan bahwa para klien yang telah belajar selama 120 jam
telah menguasai 100% bahan yang diberikan tentang bahasa barunya. Akan tetapi,
mewujudkan CLL tidaklah mudah, terutama dari segi jumlah konselornya.
TPR dipelopori oleh seorang psikolog bernama James J. Asher
pada tahun 1960-an. Ini dari TPR adalah pengajaran bahasa dengan memanfaatkan
gerakan tubuh. Alasannya adalah asimilasi dari informasi dan keterampilan bisa
ditingkatkan secara signifikan apabila kita memanfaatkan sistem sensori
kinestetik.
Proses ini mirip dengan bagaimana anak kecil belajar bahasa
ibunya. Saat mempelajari bahasa baru dengan TPR, pelajar berkesempatan
membekali diri dengan keterampilan komprehensi seluas-luasnya sebelum mulai
berbicara.
TPR membutuhkan ruang belajar yang agak besar dan bisa
diubah-ubah bentuknya. Jumlah pelajar yang optimal adalah 20-25 orang,
sedangkan umurnya tidak menjadi masalah. Hampir semua bahan pelajaran disajikan
dalam bentuk kalimat perintah. Selain itu, TPR tidak memerlukan terjemahan ke
dalam bahasa ibu pelajar dan tidak memberikan pekerjaan rumah (PR). Total waktu
yang dibutuhkan oleh para pelajar TPR untuk menguasai bahasa baru (dengan
kosakata sehari-hari) adalah 159 jam.
Dardjowidjojo menyatakan kecurigaannya bahwa bukti yang
dikemukakan oleh Asher banyak diambil dari mahasiwa bimbingannya sendiri.
Konsep TPR juga dinilainya terlalu abstrak dan memaksakan diri. Kebutuhan TPR
akan ruangan yang agak besar dan fleksibel juga menyulitkan penerapan
pendekatan ini.
NA dirintis pada tahun 1976 oleh seorang linguis bernama
Tracy D. Terrel. Pandangannya adalah penguasaan bahasa lebih banyak bertumpu
pada pemerolehan (acquisition), bukan pembelajaran (learning). NA
juga bekerja sama dengan Teori Monitor yang diajukan oleh Stephen D. Krashen.
Dalam NA, siswa harus didorong untuk berkomunikasi.
Kompetensi komunikasi siswa tidak harus sempurna karena dalam kehidupan nyata
ada hal-hal di luar bahasa yang membantunya memahami ajaran yang ia dengar.
Dengan kata lain, pelajar NA kurang mulus dari segi linguistic. Krashen
berpedoman bahwa hal ini wajar karena orang dewasa telah melampui keplastisan
otaknya, tidak seperti anak kecil saat memperoleh bahasa ibunya.
NA menyajikan banyak kosakata dan koreksi melalui latihan
atau PR. Situasi, fungsi, dan topik dikombinasikan untuk mengembangkan
kemampuan dasar pelajar dalam berkomunikasi. Hanya dikatakan bahwa NA lebih
baik daripada Metode Langsung.
SW dirintis Caleb Gattegno pada tahun 1954. Menurut
Gattegno, penguasaan bahasa tidak bisa dilakukan dengan tiruan tubian saja. Hal
pertama yang harus ditumbuhkan pada pelajar adalah kesadaran akan adanya
“kekuatan dalam” untuk mempelajari bahasa baru.
Salah satunya adalah membiasakan pelajar dengan warna bahasa
tersebut. Kita harus berkonsentrasi pada pembelajaran karena proses penguasaan
bahasa itu harus dilakukan oleh pelajar sendiri.
SW sangat artifisial dan terkontrol. Jumlah kosakata sangat
dibatasi karena pelajar harus betul-betul memanfaakan daya kognisinya untuk
menggunakan kosakata yang ada dalam berbagai konstruksi yang berbeda. Gattegno
mempunyai beberapa alat peraga dalam SW, dua di antaranya adalah beberan Fidel
dan beberan dinding. SW langsung menyajikan tulisan setelah atau pada saat
latihan lisan. Guru 90% diam, bahkan koreksi dilakukan oleh pelajar lain.
Gattegno mengklaim bahwa SW hanya memerlukan waktu satu tahun
untuk mencapai tingkat penguasaan bahasa baru yang sama dengan empat tahun
dalam metode lainnya. Di lain pihak, Dardjowidjojo menganggap bahwa kebisuan
guru pengajar SW terlalu dipaksakan karena koreksi dari guru akan lebih efektif
daripada pelajar lain.
SP dirintis oleh Georgi Lozanov yang berprofesi sebagai
dokter dan psikoterapis. Kedua bidang ini jugalah yang menjadi dasar dalam
konsep-konsep SP. Pandangan Lozanov adalah bahwa manusia bisa diarahkan untuk
melakukan sesuatu.
Syarat pembelajaran bahasa baru dengan SP adalah suasana
tenang. Salah satu caranya adalah pelajar melakukan yoga sebelum mulai belajar
untuk menghimpun kemampuan hipermnestik. Ruangan belajar juga harus kondusif
dengan latar belakang musik yang sesuai dengan jiwa bahan yang diberikan.
Intinya adalah SP menekankan pada penyerapan mental dari bahan pelajaran yang
diterima untuk kemudian direnungkan, dicamkan, dan dipakai bersama siswa lain
di kelas.
Pada umumnya, bahan pelajaran diberikan dalam bentuk dialog
yang sangat panjang. Tiap siswa diberi nama dan peran baru yang khas dalam
bahasa yang sedang dipelajari. Tiap pertemuan dibagi menjadi tiga bagian.
Bagian pertama adalah pengulangan bahan sebelumnya. Pada bagian kedua disajikan
bahan baru yang bentuk dan caranya tidak jauh berbeda dari yang tradisional.
Bagian ketiga adalah séance yang bertujuan menyerap bahan baru ke alam
bawah sadar.
Hasil yang dicapai oleh SP berbeda-beda dari 2,5 kali sampai
50 kali lebih baik dari metode lain. Retensi kosakatanya dinyatakan bisa
mencapai 93,16%, bahkan setelah hampir tiga tahun berlalu setelah kelas
terakhir berlangsung. Namun, Dardjowidjojo menyatakan bahwa hal ini menimbulkan
kecurigaan jika kata-kata yang dicobakan memang padanannya mirip dengan bahasa
pertama pelajar.
Kesimpulan
yang dibuat oleh Dardjowidjojo adalah seorang guru harus bisa mengambil segi
positif dan membuang segi negatif dari kelima pendekatan tersebut. Kefanatikan
terhadap satu metode bisa merugikan pelajar. Guru harus bisa menyesuaikan cara
mengajarnya dengan situasi dan kondisi yang ia hadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, Soenjono. 1992. “Lima Pendekatan Mutakhir
dalam Pengajaran Bahasa,” Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan
Sastra, peny. Muljanto Sumardi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Post a Comment for "Lima Pendekatan Mutakhir dalam Pengajaran Bahasa: Kelebihan dan Kekurangan"