Lima Pendekatan Mutakhir dalam Pengajaran Bahasa: Kelebihan dan Kekurangan


Lima Pendekatan Mutakhir dalam Pengajaran Bahasa: Kelebihan dan Kekurangan
26 September 2009 oleh nyanyianbahasa
oleh Melody Violine
Dalam tulisannya yang berjudul “Lima Pendekatan Mutakhir dalam Pengajaran Bahasa”, Dardjowidjojo memaparkan sejarah pertumbuhan, prinsip-prinsip dasar, tahap-tahap penguasaan, teknik pelaksanaan pengajaran, dan hasil yang dicapai oleh Community Language Learning (CLL), Total Physical Response (TPR), Natural Approach (NA), Silent Way (SW), dan Suggestopedy (SP). Dardjowidjojo juga tidak lupa membeberkan garis besar kelemahan kelima pendekatan tersebut.
Meskipun bagian pemaparan dalam tulisan ini cukup membosankan, bagian pengantar dan penutupnya cukup menarik karena Dardjowidjojo mengungkapkan pikirannya dengan luwes. Secara umum tulisan ini sangat berguna untuk memahami apa saja kelebihan dan kekurangan kelima pendekatan tersebut.
CLL dirintis oleh Charles A. Curran dalam eksperimennya pada tahun 1957 yang menerapkan konsep psikoterapi dalam bentuk konseling pada para mahasiswanya. Pelajar disebut klien sementara guru disebut konselor. Konselor harus menghilangkan perasaan negatif para kliennya dengan bersikap fasilitatif.
CLL mempunyai enam konsep, yaitu Security (memberikan rasa aman), Attention-Aggression (membina perhatian dan mendorong klien untuk aktif), Retention-Reflection (introspeksi dan perenungan), dan Discrimination (membedakan elemen-elemen bahasa dengan teliti). Tahap-tahap penguasaan bahasa baru dalam CLL dibagi menjadi lima, yaitu Embryonic, Self-assertion, Separate-existence, Reversal, dan Independent.
Hal yang paling mencolok dari CLL adalah setiap kelas terdiri dari enam sampai dua belas klien yang masing-masing didampingi oleh seorang konselor, baik secara langsung maupun media elektronik. CLL tidak memakai teks apa pun, tetapi mempunyai alat peraga khusus bernama Chromacord Teaching System.
Dikatakan bahwa para klien yang telah belajar selama 120 jam telah menguasai 100% bahan yang diberikan tentang bahasa barunya. Akan tetapi, mewujudkan CLL tidaklah mudah, terutama dari segi jumlah konselornya.
TPR dipelopori oleh seorang psikolog bernama James J. Asher pada tahun 1960-an. Ini dari TPR adalah pengajaran bahasa dengan memanfaatkan gerakan tubuh. Alasannya adalah asimilasi dari informasi dan keterampilan bisa ditingkatkan secara signifikan apabila kita memanfaatkan sistem sensori kinestetik.
Proses ini mirip dengan bagaimana anak kecil belajar bahasa ibunya. Saat mempelajari bahasa baru dengan TPR, pelajar berkesempatan membekali diri dengan keterampilan komprehensi seluas-luasnya sebelum mulai berbicara.
TPR membutuhkan ruang belajar yang agak besar dan bisa diubah-ubah bentuknya. Jumlah pelajar yang optimal adalah 20-25 orang, sedangkan umurnya tidak menjadi masalah. Hampir semua bahan pelajaran disajikan dalam bentuk kalimat perintah. Selain itu, TPR tidak memerlukan terjemahan ke dalam bahasa ibu pelajar dan tidak memberikan pekerjaan rumah (PR). Total waktu yang dibutuhkan oleh para pelajar TPR untuk menguasai bahasa baru (dengan kosakata sehari-hari) adalah 159 jam.
Dardjowidjojo menyatakan kecurigaannya bahwa bukti yang dikemukakan oleh Asher banyak diambil dari mahasiwa bimbingannya sendiri. Konsep TPR juga dinilainya terlalu abstrak dan memaksakan diri. Kebutuhan TPR akan ruangan yang agak besar dan fleksibel juga menyulitkan penerapan pendekatan ini.
NA dirintis pada tahun 1976 oleh seorang linguis bernama Tracy D. Terrel. Pandangannya adalah penguasaan bahasa lebih banyak bertumpu pada pemerolehan (acquisition), bukan pembelajaran (learning). NA juga bekerja sama dengan Teori Monitor yang diajukan oleh Stephen D. Krashen.
Dalam NA, siswa harus didorong untuk berkomunikasi. Kompetensi komunikasi siswa tidak harus sempurna karena dalam kehidupan nyata ada hal-hal di luar bahasa yang membantunya memahami ajaran yang ia dengar. Dengan kata lain, pelajar NA kurang mulus dari segi linguistic. Krashen berpedoman bahwa hal ini wajar karena orang dewasa telah melampui keplastisan otaknya, tidak seperti anak kecil saat memperoleh bahasa ibunya.
NA menyajikan banyak kosakata dan koreksi melalui latihan atau PR. Situasi, fungsi, dan topik dikombinasikan untuk mengembangkan kemampuan dasar pelajar dalam berkomunikasi. Hanya dikatakan bahwa NA lebih baik daripada Metode Langsung.
SW dirintis Caleb Gattegno pada tahun 1954. Menurut Gattegno, penguasaan bahasa tidak bisa dilakukan dengan tiruan tubian saja. Hal pertama yang harus ditumbuhkan pada pelajar adalah kesadaran akan adanya “kekuatan dalam” untuk mempelajari bahasa baru.
Salah satunya adalah membiasakan pelajar dengan warna bahasa tersebut. Kita harus berkonsentrasi pada pembelajaran karena proses penguasaan bahasa itu harus dilakukan oleh pelajar sendiri.
SW sangat artifisial dan terkontrol. Jumlah kosakata sangat dibatasi karena pelajar harus betul-betul memanfaakan daya kognisinya untuk menggunakan kosakata yang ada dalam berbagai konstruksi yang berbeda. Gattegno mempunyai beberapa alat peraga dalam SW, dua di antaranya adalah beberan Fidel dan beberan dinding. SW langsung menyajikan tulisan setelah atau pada saat latihan lisan. Guru 90% diam, bahkan koreksi dilakukan oleh pelajar lain.
Gattegno mengklaim bahwa SW hanya memerlukan waktu satu tahun untuk mencapai tingkat penguasaan bahasa baru yang sama dengan empat tahun dalam metode lainnya. Di lain pihak, Dardjowidjojo menganggap bahwa kebisuan guru pengajar SW terlalu dipaksakan karena koreksi dari guru akan lebih efektif daripada pelajar lain.
SP dirintis oleh Georgi Lozanov yang berprofesi sebagai dokter dan psikoterapis. Kedua bidang ini jugalah yang menjadi dasar dalam konsep-konsep SP. Pandangan Lozanov adalah bahwa manusia bisa diarahkan untuk melakukan sesuatu.
Syarat pembelajaran bahasa baru dengan SP adalah suasana tenang. Salah satu caranya adalah pelajar melakukan yoga sebelum mulai belajar untuk menghimpun kemampuan hipermnestik. Ruangan belajar juga harus kondusif dengan latar belakang musik yang sesuai dengan jiwa bahan yang diberikan. Intinya adalah SP menekankan pada penyerapan mental dari bahan pelajaran yang diterima untuk kemudian direnungkan, dicamkan, dan dipakai bersama siswa lain di kelas.
Pada umumnya, bahan pelajaran diberikan dalam bentuk dialog yang sangat panjang. Tiap siswa diberi nama dan peran baru yang khas dalam bahasa yang sedang dipelajari. Tiap pertemuan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah pengulangan bahan sebelumnya. Pada bagian kedua disajikan bahan baru yang bentuk dan caranya tidak jauh berbeda dari yang tradisional. Bagian ketiga adalah séance yang bertujuan menyerap bahan baru ke alam bawah sadar.
Hasil yang dicapai oleh SP berbeda-beda dari 2,5 kali sampai 50 kali lebih baik dari metode lain. Retensi kosakatanya dinyatakan bisa mencapai 93,16%, bahkan setelah hampir tiga tahun berlalu setelah kelas terakhir berlangsung. Namun, Dardjowidjojo menyatakan bahwa hal ini menimbulkan kecurigaan jika kata-kata yang dicobakan memang padanannya mirip dengan bahasa pertama pelajar.
Kesimpulan yang dibuat oleh Dardjowidjojo adalah seorang guru harus bisa mengambil segi positif dan membuang segi negatif dari kelima pendekatan tersebut. Kefanatikan terhadap satu metode bisa merugikan pelajar. Guru harus bisa menyesuaikan cara mengajarnya dengan situasi dan kondisi yang ia hadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, Soenjono. 1992. “Lima Pendekatan Mutakhir dalam Pengajaran Bahasa,” Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra, peny. Muljanto Sumardi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Post a Comment for "Lima Pendekatan Mutakhir dalam Pengajaran Bahasa: Kelebihan dan Kekurangan"